BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Dengan adanya negara, harapan masyarakat untuk hidup aman, tertib, adil, makmur dan sejahtera akan terwujud. Sebab fungsi negara adalah untuk menciptakan hal-hal tersebut.
Negara dalam melaksanakan perannya, memiliki beberapa hak yang sifatnya memaksa / mengikat dengan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama. Negara apabila dikaitkan dengan etika politik, dalam melakukan peranannya suatu Negara dipertanyakan prinsip-prinsip moral yang harus mendasari penataan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan.
Membicarakan mengenai Negara tentunya kita haruslah terlebih dahulu mengetahui bagaimana asal usul terciptanya suatu Negara. Pemikiran tentang Negara sudah ada sejak zaman Yunani, kemudian zaman Romawi, selanjutnya zaman abad pertengahan, zaman renaissance, zaman berkembangnya hukum alam, dan kemudian zaman berkembangnya teori kekuatan. Salah satu nama yang memiliki sumbangsih terhadap teori negara adalah Thomas Hobbes, ahli filsafat dari Inggris. Dia memaparkan bahwa terbentuknya Negara dikarenakan oleh perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Menurut teori ini negara lahir karena perjanjian yang dibuat antara orang-orang yang tadinya hidup bebas. Perjanjian ini diadakan agar kepentingan bersama dapat terpelihara dan terjamin. Supaya orang yang satu tidak merupakan serigala bagi orang yang lain. Atau homo homi lupus bellum omnium contra omnes
Pemikiran Hobbes terhadap negara bertitik tolak pada keadaan manusia sebelum adanya negara. Manusia dalam keadaan in abstracto (bebas tanpa ikatan). Setiap manusia dalam hidupnya bertujuan untuk hidup dalam kebahagiaan. Kebahagiaan tersebut dapat tercapai dengan cara berkompetisi dan berlomba antar manusia sehingga menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia yang lainnya. Oleh karena itu dibentuklah secara bersama lex naturalis atau UU alam, yang merupakan peraturan dengan perantaraan akal, yang mana manusia dibatasi kebebasannya secara alamiah. Hak-hak kebebasan individu tersebut diserahkan kepada negara, dalam hal ini adalah raja.
Sangat menarik membicarakan tentang konsep negara menurut Thomas Hobbes, ia menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Studi Etika Politik dapat membantu kita untuk memahami bagaimana konsep Negara Thomas Hobbes tersebut dari segi prinsip-prinsip moral dalam kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penyusunan makalah ini, maka penulisan dibatasi sebagai berikut :
1.2.1 Siapa sebenarnya Thomas Hobbes ?
1.2.2 Bagaimana konsep negara “Leviathan” dari Thomas Hobbes ?
1.2.3 Bagaimana konsep negara Leviathan dari kacamata etika politik ?
1.3 Tujuan Penulisan
Ada beberapa alasan mengapa tulisan ini dibuat penulis, yaitu :
1.3.1 Memenuhi tugas mata kuliah Etika Politik.
1.3.2 Memaparkan siapa Thomas Hobbes.
1.3.3 Menjelaskan konsep negara “Leviathan” menurut Thomas Hobbes.
1.3.4 Menerangkan konsep negara Leviathan dari pandangan etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Thomas Hobbes
Thomas Hobbes dilahirkan pada 5 April 1588 di Malmesbury, Wiltshire, Inggris. Hobbes merupakan tokoh penting dalam perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan ilmu politik modern. Salah satu karya Hobbes adalah Leviathan (1651). Karya ini mengungkap tentang hubungan kekuasaan antara indvidu dengan negara. Dalam karyanya itu, Hobbes mengatakan manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua lawan semua (Bahasa Latinnya homo homini lupus yang berarti manusia adalah serigala bagi sesamanya). Untuk mencegah terjadinya homo homini lupus maka manusia saling mengikat perjanjian, di mana masing-masing individu melepaskan sebagian dari kebebasannya yang tak terbatas. Secara singkat dapat dikatakan Hobbes mengidentifikasikan sumber kekuasaan politik berada pada persetujuan rakyat atau individu atau yang sering kita dengar dengan istilah teori kontrak sosial mengenai asal usul negara. Menurut para penganut mahzab hukum kodrati, Hobbes adalah tokoh penting dalam transformasi tradisi hukum kodrat dari hak-hak kodrati klasik menuju hak-hak kodrat yang modern, di mana Hobbes mengatakan bahwa hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup yang didasarkan pada rasa takut terhadap kematian secara kejam adalah satu-satunya klaim moral yang dapat dibenarkan. Pemikiran Hobbes tentang asal mula negara dan hak-hak kodrati manusia di latar belakangi oleh kondisi sosial politik Eropa, terutama Inggris yang sedang mengalami perubahan dalam menerima ide-ide Renaissance dan Reformasi. Pada masa itu Inggris sedang mengalami instabilitas politik yang berujung pada pecahnya perang saudara. Hobbes meninggal delapan tahun sebelum terjadinya [Glorious Revolution] yang kemudian menghasilkan deklarasi [Bill of Rights]. Sejumlah kalangan menilai Bill of Rights sebagai titik awal menuju revolusi HAM. Revolusi HAM itu tidak terlepas dari dasar-dasar filosofis yang dipancangkan Hobbes melalui Leviathan.
2.2 Negara Leviathan
Hobbes menggambarkan negara sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Hal itu dikarenakan pada pemerintahan di zamannya terkenal dengan negara yang absolut. Hobbes tidak mau membenarkan kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara yang tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten mendasarkan kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam para warga negara
Hobbes mengadakan dua reduksi yang sangat radikal :
1. Mengesampingkan kebebasan kehendak manusia
2. Mengembalikan segala kelakuan manusia pada satu dorongan saja
Pandangan Hobbes ini mempunyai dua akar yang satu bersifat teologis dan yang satunya berlatar belakang ilmu alam. Hobbes mengadakan penelitian, yang kesimpulannya seluruh kelakuan manusia memang dapat dikembalikan pada satu motivasi saja yaitu pada perasaan takut terhadap maut, atau pada naluri untuk mempertahankan nyawanya Jadi menurut Hobbes pengaruh emosi dan nafsu atas tatanan masyarakat dapat dinetralisasikan. Manusia dapat diatur more geometrico, secara mekanistik. Apalagi organisasi masyarakat disusun sedemikian rupa hingga manusia merasa aman dan bebas sejauh ia bergerak dalam batas-batas hukum, dan terancam mati sejauh tidak, kehidupannya dapat terjamin berlangsung dengan teratur dan tentram. Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes
Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Masyarakat hanya tinggal menerima, atas dasar norma-norma moral dan keadilan pun negara tidak dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena apa yang harus dianggap adil ditentukan oleh negara sendiri. Maka menurut Hobbes negara tidak dapat bertindak dengan tidak adil. Penguasa melalui tindakan apapun tidak dapat melakukan sesuatu yang melanggar keadilan terhadap seorang bawahan dan tidak dapat didakwa bertindak dengan tak adil. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara. Negara, sang Leviathan, oleh Hobbes juga dijuluki “manusia buatan” dan Deus mortalis, “Allah yang dapat mati”. Negara itu manusia buatan karena hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Dan ia bagaikan Allah. Ia memang dpt mati, artinya bubar. Tetapi selama ia ada, ia seperti Allah, merupakan tuan atas hidup dan mati manusia, ia berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil namanya dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu memberikan pertanggung jawaban
Hobbes merekayasa Negara sebagai Leviathan karena ia memahami manusia sebagai mekanisme yang hanya mengikuti dorongan-dorongan irasionalnya saja. Rasionalitas; sosialitas dan keterbukaan manusia pada transendesnsi dikesampingkan. Penguasa memandang rendah pada masyarakat, yang tidak menghormati cita-cita, penilaian dan kehendaknya, yang memerintah dengan congkak dan dari atas, dengan menindas kritik dan menumpas pandangan lain, dengan demikian hanya membuka kedoknya sendiri. Ia sendirilah yang beluim dapat membedakan antara manusia dengan binatang, yang tidak paham akan akal budi dan kebebasan manusia sebagai mutiara anugerah Sang Pencipta.
2.3 Negara Leviathan dipandang dari sudut Etika Politik
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Etika dibagi menjadi : 1) Etika Umum (mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia) dan 2) Etika Khusus (membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupannya)
Etika individual = mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri. Etika sosial = membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antar manusia
Etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya. Dua-duanya kebaikan manusia sebagai manusia dan kebaikannya sebagai warga Negara memang tidak identik. Aristoteles mengatakan bahwa identitas antara manusia yang baik dan warga Negara yang baik hanya terdapat apabila Negara itu sendiri baik. Sedangkan apabila Negara tersebut buruk, maka orang yang baik sebagai warga Negara hidup sesuai dengan aturan Negara buruk itu, adalah buruk, barangkali jahat, sebagai manusia dan sebaliknya dalam Negara buruk, manusia yang baik sebagai manusia, jadi seseorang yang betul-betul bertanggung jawab, akan buruk sebagai warga Negara, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan buruk Negara itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Thomas Hobbes merupakan salah satu pemikir politik yang ternama. Namanya pun masih populer dalam ilmu politik hingga saat ini. Semua pemikirannya tentang dunia politik, terutama tentang teori kontrak sosial sebagai asal usul terbentuknya negara tidak terlepas dari pengaruh keadaan kehidupannya saat itu. Hobbes mengatakan manusia pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik sehingga akan menjurus pada perang antara semua lawan semua (Bahasa Latinnya homo homini lupus = manusia adalah serigala bagi sesamanya). Untuk mencegah terjadinya homo homini lupus maka manusia saling mengikat perjanjian, di mana masing-masing individu melepaskan sebagian dari kebebasannya yang tak terbatas. Secara singkat dapat dikatakan Hobbes mengidentifikasikan sumber kekuasaan politik berada pada persetujuan rakyat atau individu.
Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samodra raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Masyarakat hanya tinggal menerima, atas dasar norma-norma moral dan keadilan pun negara tidak dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena apa yang harus dianggap adil ditentukan oleh negara sendiri. Maka menurut Hobbes negara tidak dapat bertindak dengan tidak adil.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis Franz dan Suseno. Etika Politik. 1988. Jakarta : PT Gramedia
Marbun, BN. SH. Kamus Politik. 2007. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Senin, 24 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar